Thursday, March 20, 2008
Laa ila ha illallah Muhammad Rasullah
Dengan menyebut asma Allah yg Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, sholawat & salam semoga selalu tercurah atas junjungan alam, kekasih Allah, Nabi Muhammad SAW & Keluarganya.

Dari kisah lama yg tersembunyi & berdebu:
Pawa awalnya Allah SWT dalam kesendirianNya tidak ada yang mengenaliNya. Dari segenggam cahayaNya diciptakanlah mahluk pertama yaitu “Nur Muhammad”. Dalam putaran tawafnya dalam ribuan tahun “Nur Muhammad” selalu bertasbih dihadapan Allah: Subhannallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar.
Inilah awal pertama kali terciptanya kalimat: Laa ila ha illallah Muhammad Rasullah.

Dalam kesendirian “Nur Muhammad” bertawaf dihadapan Allah SWT, Beliau bertanya kepada Allah, Engkau telah dikenali oleh aku, lha aku dikenali oleh siapa? Dari situlah Allah menciptakan mahluk kedua “Nur Keluarganya (ahlulbait=Ali, Fatimah, Hasan, Husain), para Nabi & Rasul" dari Nur Muhammad. Engkau dikenali oleh Keluargamu kata Allah.
Inilah awal pertama kali kalimat sholawat tercipta: Allahumma shali ala Muhammad wa ala aali Muhammad kama sholayta ala Ibrahim wa ala aali Ibrahim (Q.33:56)

Untuk mendukung kehidupan keluarganya secara nyata dan atas permintaan Beliau SAW, Allah menciptakan mahluk ketiga dari “Nur Keluarganya” yaitu alam semesta dan penghuninya (termasuk Malaikat = Penduduk langit, Jin & Manusia = Penduduk bumi). Dari peristiwa inilah Beliau SAW ahirnya disebut “Rahmatan lil alamin” Rahmat bagi semesta alam. Karena atas permohonan Beliaulah ahirnya Allah dikenali oleh Malaikat & hamba-hambaNya (dari golongan Jin & Manusia) yang saleh.

Hal ini diabadikan oleh Allah & RasulNya di Attahiyat (itu lho yg dibaca di ahir sholat):
Salam hormat yang penuh berkah, kemulyaan dan kebaikan hanya milik Allah,
Keselamatan untukmu wahai Nabi dengan rahmat & berkah Allah,
Keselamatan pula atas kami dan hamba-hamba Allah yang Shaleh,
Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah & aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah,
Dst..

Kebenaran hanya milik Allah, RasulNya & keluarganya, kesalahan dari saya.

Salam hormat & penuh kesejahteraan,
Untuk para kekasih Allah, para kekasih RasulNya & para kekasih Keluarganya…
posted by widya @ 1:52 AM   0 comments
Monday, December 17, 2007
Sang Maha Penganugerah
Sang Maha Penganugerah

Apa alasanku untuk durhaka kepada-Mu, Allahku
Di malam dan siang telingaku mendengar desir lembut suara malaikat-Mu
yang mendendangkan nyanyian-Mu yang melezatkan jiwaku
Di siang dan malam mripatku menyaksikan rahmat-Mu
bertaburan dari langit beribu penjuru.

Jika Engkau bukan Sang Maha Tanpa Pamrih
pastilah bangkrut aku
Jika atas segala anugerah-Mu harus kupersembahkan balasan,
maka tiadalah yang akan mampu aku persiapkan.

Segala yang tergenggam di tanganku adalah milik-Mu,
bahkan tak juga kumiliki diriku sendiri,
karena Engkaulah Maha Empunya semuanya ini.

Maka jika kupasrahkan seluruh jiwa ragaku
bukanlah aku memberikan sesuatu kepada-Mu,
melainkan sekedar menyampaikan hak-Mu.
Dan jika aku memberikan sesuatu kepada keluargaku,
kepada para tetangga dan sekalian orang di dalam jangkauanku,
tak lain itu hanyalah menyalurkan milik-Mu,
agar sampai pada akhirnya ke haribaan-Mu.

Apa alasanku untuk durhaka kepada-Mu, Allahku
Engkau Maha Memberi, tanpa meminta:
aku lah yang membutuhkan penyerahan segala sesuatu ke hadapan-Mu.

(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok)
posted by widya @ 7:17 PM   0 comments
Ketika engkau bersembahyang
Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar

Bacaan al-fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya

Tegak tubuh alif-mu mengakar ke pusat bumi
Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis

Sujud adalah satu-satunya hakikat hidup
Karena pejalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali

Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan diperas jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya

Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang taka ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapa pun juga

Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan
(Emha Ainun Nadjib )
posted by widya @ 7:14 PM   0 comments
Tidak. Jibril Tidak Pensiun
Hanya kualitas sorang Nabi yang sanggup me­nampung wahyu, dan Allah memang hanya
berkenan memberikan wahyu kepada beliau-beliau yang terpilih. Sampai akhirnya
Muhammad si Pamungkas. Selebihnya hanya ada wahyu kraton: suatu tema drama
politik.

Maka anak-anak suka bersenda gurau bahwa Jibril sejak abad VII Masehi itu jadi
penganggur. Pensiun abadi. Ada yang mebantah dengan mengemukakan bahwa Jibril
tetap being employed karena para wali atau orang-orang dengan ‘radar suci’
setingkat mereka tetap menerima karomah, sementara orang-orang biasa kayak kita
tetap juga memperoleh ilham.

Tidak, kata yang lain. Untuk takaran di bawah wahyu tak diperlukan Jibril. Untuk
pekerjaan-pekerjaan kecil begitu Allah tak memerlukan organisasi birokrasi,
tukang-tukang pos atau agen penyalur. Allah bisa cukup bilang Kun (fa-yakuun)
untuk ke­pentingan apa pun saja.

Alangkah samar pembicaraan semacam ini. Tak ada kerangka metodologi penelitian
model manapun yang bisa menyentuhnya. Tak tersedia kredibilitas keilmuan
manusia apapun yang mungkin menerobosnya. Apalagi ilmu-ilmu sosial hanya pernah
kenal Tuhan sebagai benda abstrak, sebagai suatu syahdan, sebagai kemungkinan
obyek yang sungguh asing sifatnya -- sebab segala teori menjadi lawakan tatkala
mendekati-Nya.

Satu-satunya jalan disediakan justru oleh berita wahyu itu sendiri. Tetapi ini
makin tidak memuaskan manusia modern, yang canggih untuk bercuriga terhadap
dogma, yang seolah-olah sengaja membuang kemampuan-kemampuan kejiwaannya yang
tertentu yang bisa ia pakai untuk bergaul baik-baik dengan hidayah, dengan
petunjuk ‘entah dari mana’, dengan gudang rahasia keilahian, dengan
ketidak-mungkin-tahu-annya sendiri. Ya, manusia modern itu -- yang sombong
melebihi Musa menjelang Tursina, yang menyangka bahwa kebenaran dan kepastian
adalah miliknya yang ia bisa rancang dan tentukan.

Pada saat yang sama, keterbukaan terhadap gerak penghayatan atas wahyu itu amat
diperlukan, setidaknya karena manusia telah sampai pada dua gejala yang
sama-sama takabbur.

Yang pertama, manusia telah merasa mampu me­nemukan sesuatu, mengadakan yang tak
ada, menciptakan sesuatu, dan berkat itu ia menjadi seniman Nobel, doktor
akademik atau sarjana kehidupan. Yang kedua berada si ekstrim lain: yang ada
hanya Allah, aku ini tak ada. Yang mutlak itu Allah, aku sekedar rekaan.
Karya-karyaku, kata-kataku, musikku, lukisanku, tak bisa kusebut dengan ku,
sebab mereka adalah kasih karya Allah semata.

Jadi, kalau kita membaca karya itu, kita membaca karya Allah. Kalau kita
dengarkan ia baca puisi, itu puisi Allah. Kalau kita nonton pameran lukisannya,
kita nonton lukisan Allah.

Maka ia mengemukakan kepadaku iman dan konsep mengenai pinjaman ilmu dan harta
benda Allah kepada manusia -- sebagai mana ia mengemukakan hal yang sama ketika
kutanyakan kepadanya apa omongan Islam tentang falsafah hak milik dan distribusi
ekonomi yang dewasa ini amat dicemaskan oleh kaum sosialis-marxis.

Itu moralitas Allah.

Seandainya saja kita berhasil memiliki suatu pola pendidikan yang memungkinkan
terwujudnya iman dan konsep itu dalam diri manusia, maka usaha proyeksi dan
sis­temasinya ke dalam organisasi-organisasi kebersamaan manusia tinggal
‘sekunder’. Tetapi sejarah telah harus mengandaikan manusia seperti ‘maling’
yang -- tentu saja tak bisa dipercaya, sehingga harus diciptakan pagar-pagar
yang berlebihan. Sistem yang mengatur manusia bersifat substansial, dan manusia
berada secara instrumental. Kita adalah gerombolan ayam, memperoleh taburan
jagung dari tangan manusia, jago-jago memonopoli taburan itu karena mereka
memang ‘tak tahu menahu’ tentang moralitas tangan manusia yang menaburkan
jagung. Perlawanan ayam-ayam lain terhadap jago-jago selalu berupa menyingkirkan
atau menumpas jago-jago, atau meng­gantikan kedudukan jago-jago.

Demikian ‘psikologi perlawanan’ yang sejauh ini berlangsung: apirasi terhadap
apirasi, ideologi politik terhadap ideologi politik, kelas terhadap kelas,
bahkan kaum wanita terhadap kaum lelaki. Sumber kecenderungan ini ialah karena
jagung itu dipandang secara a-historis. Tak dipersoal­kan secara tuntas dari
mana jagung tertabur, dan apa moralitas esensial yang terkandung di balik
taburan jagung itu. Dengan kata lain, orang makin tak kenal kepada jiwa wahyu.

Maka ia mengemukakan kepadaku Jibril tidak pensiun. Wahyu Allah bukan sebuah
dongengan purba. Cahaya Allah tak berhenti memancar. Ilmu Tuhan terus menerus
berseliweran. Muhammad tidak mati. Sungguh tidak mati. Hanya tubuh beliau yang
sudah dikuburkan -- dan tubuh beliau adalah bagian yang paling remeh dari
eksistensi kepribadiaannya yang menyuluhi alam semesta manusia. Wahyu yang
beliau terima dari Allah pun terus bekerja. Sudah sempurna tapi belum selesai,
karena ia akan menemukan kelahiran dan kelahirannya kembali di dalam iman dan
kesadaran ummatnya.

Bahwa pada Muhammad disebut wahyu itu berakhir, artinya ialah jatah ilmu
pengetahuan dasar anugerah Allah bagi manusia berpuncak di wadah Muhammad.
Segala yang kita sebut prestasi akal, ilmu dan teknologi dahsyat yang dicapai
manusia sesudahnya, telah terdapat benih-benihnya dalam al-Quran --meskipun
selama ini kita menyebut-nyebut hal itu sekedar untuk hibur-hiburan pasif agar
meperoleh ke­percayaan diri sebagai ummat. Allah tidak mengkursus kita bagaimana
bikin rantai dan pedal, tetapi kualitas fenomena ken­daraan sepeda telah
di­tunjukkan-Nya. Apapun yang kelak digapai oleh ke­cerdasan manusia, tak akan
melebihi kapasiatas ke­mungkinan yang telah dinurkan oleh wahyu yang berpuncak
di Muhammad.

Tetapi, barangkali kita, adalah ummat tolol yang bisa menjadi cukup tenang hanya
dengan mengemukakan keyakinan itu, tanpa mengerjakannya, dan kemudian -- kata
para piawai -- “Kita ketinggalan dua abad” di­banding orang-orang lain yang
justru ‘acuh tak acuh terhadap Allah’. Mungkin bagi kita Jibril adalah tokoh
sejarah pada zaman sebelum Prabu Jayabaya atau candi Boro­budur dibangun. Jibril
adalah bayangan patung, arca berjubah, makhluk supra-raksasa yang telapak
tangannya seluas 3333 kali galaksi, yang eksistensinya sepurba Dinosaurus. Atau
Jibril itu semacam le­lembut. Dan semua itu tidak konkret.

Padahal tidak. Jibril tidak pensiun. Ia begitu karib, di sisi tidur dan jagamu.
Namun apabila pengalaman keilahian tidak selalu kita perbaharui, pada suatu hari
kita akan sadar seolah-olah kita ini hidup di masa pra-Ibrahim yang menghayati
bulan dan matahari untuk menemukan Allahnya.

Emha Ainun Nadjib (PmBNetDok)
posted by widya @ 6:58 PM   0 comments
About Me



Nameera Ranupadma

Profil

Udah Lewat
Archives
Links
Affiliates
15n41n1