Monday, July 16, 2007
Dilarang membawa anak balita ke masjid saat tarawih?
copy paste

Dilarang membawa anak balita ke masjid saat tarawih?


Mungkin pengumuman seperti tersebut di atas akan jamak kita dengar di masjid-masjid dan mushalla-mushalla selama bulan ramadhan. Seperti yang dulu biasa saya dengarkan di masjid sebelah rumah orang tua saya. Seperti biasanya juga saya amini pengumuman dari ta'mir tersebut, berdasarkan
keinginan bersama untuk lebih khusyu' tanpa terganggu oleh teriakan anak-anak kecil.

Akan tetapi rasanya jadi berbeda ketika beberapa malam lalu saya mendengar pengumuman yang menghimbau jamaah untuk tidak membawa anak balita selama shalat tarawih di masjid di lingkungan tempat saya tinggal sekarang. Malam itu adalah malam pertama kali dilaksanakan shalat tarawih.
Artinya besoknya adalah puasa ramadhan hari pertama.

Terlihat cukup banyak anak-anak usia balita yang ikut orang tuanya ke masjid untuk shalat tarawih. Beberapa diantaranya ada yang kelihatannya sudah duduk di bangku sekolah dasar. Biasalah, layaknya anak-anak kecil lainnya, bukannya mengikuti tawarih dengan khusyu' dan tuma'ninah, mereka malah berkumpul dan bercanda rame-rame.

Buat saya sih, kondisi seperti itu oke-oke saja. Saya mahfum karena memang anak kecil sedang dalam masanya bermain-main. Dan kebetulan juga saya merasa tidak terlalu terganggu oleh candaan anak-anak itu. Tapi ternyata tidak
begitu buat beberapa orang jama'ah dan ta'mir masjid. Pada waktu memberikan kultum, seorang ta'mir memberikan arahan kepada seluruh jamah untuk selanjutnya tidak lagi membawa anak balita ke masjid. Karena menurut beliau, balita yang berkumpul di masjid akan menyebabkan jamah menjadi tidak
khusyu shalatnya. Buktinya pada saat itu terdengar anak-anak kecil sedang berkumpul dan saling berbicara dengan suara yang agak keras.

Pengumuman ta'mir tersebut mengejutkan saya. Memang sih, sebelum memberikan arahan beliau terlebih dulu meminta maaf apabila apa yang akan disampaikan mungkin menyinggung perasaan sebagian jamaah. Tapi tetap saja saya kaget.

Yang membuat saya terkejut adalah ternyata kita sendiri masih membuat batasan tentang siapa yang berhak dan layak untuk datang ke baitul-Lah. Padahal di mata Allah semua manusia adalah sama dan sederajat. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan lainnya. Allah sangat egaliter. Baik seorang ustadz dan orang tua ataupun anak kecil, masing-masing memperoleh kesempatan yang sama untuk menjadi tamu Allah di rumah-Nya.

Saya tidak terlalu ingat, tapi seingat saya dalam salah satu hadits disebutkan bahwa suatu ketika Kanjeng Rasul mengerjakan shalat berjamaah dengan para sahabat. Saat itu Kanjeng Rasul mengerjakan salah satu sujudnya dalam waktu
yang cukup lama. Sehingga membuat para sahabat heran dan bertanya-tanya. Setelah selesai sahalat, akhirnya Kanjeng Nabi menjelaskan mengapa salah satu sujudnya lama adalah karena waktu itu cucu beliau yang masih kecil sedang duduk di leher beliau. Kanjeng Rasul tidak mau mengganggu keasyikan cucunya, sehingga memutuskan untuk menunggu sampai si cucu bosan dan turun dari leher Kanjeng Rasul.
Setelah itu baru Kanjeng Rasul melanjutkan shalat ke rakaat berikutnya.

Subhanallah.. Bahkan Kanjeng Rasul sekalipun masih menghormati cucunya yang notabene seorang anak kecil yang sedang bermain-main dan duduk di atas leher beliau. Lalu mengapa kita masih dengan sombongnya melarang anak-anak balita kita untuk menjadi tamu Allah? Apakah dengan menjadi orang tua membuat kita merasa sah untuk menentukan layak atau tidaknya seorang balita ikut datang ke masjid?

Rasulullah adalah manusia pilihan yang semenjak dari lahirnya sudah dijaga hati, lisan dan tindakannya oleh Alah dari perbuatan buruk. Namun Kanjeng Rasul masih menyempatkan waktu membiarkan seorang balita bermain-main di atas leher beliau meskipun saat itu Kanjeng Rasul sedang menjadi imam shalat berjamaah dengan para sahabat.
Kemudian seperti apakah kita dibandingkan dengan Rasulullah? Sederajatkah kita yang sangat banyak dosanya ini dibandingkan dengan Kanjeng Rasul yang ma'shum? Lalu mengapa kita dengan mudahnya menentukan bahwa anak-anak kita yang masih berumur balita tidak layak menjadi tamu Alah di rumah-Nya?

Dalam keyakinan saya, belum tentu di hadapan Allah saya lebih suci dibandingkan anak saya yang baru berumur 14 bulan. Belum tentu doa saya lebih makbul dibandingkan dengan doa anak saya. Belum tentu saya lebih diajeni oleh Allah di dalam rumah-Nya dibandingkan dengan anak saya.
Belum tentu juga shalat yang saya lakukan di masjid lebih diridlai Allah dibandingkan dengan kehadiran anak saya di sana.

Kehadiran anak-anak di masjid adalah sebenarnya proses pembelajaran bagi mereka. Anak-anak kita akan melihat bagaimana cara shalat yang baik dan benar. Anak-anak juga akan melihat bagaimana para orang tuanya bermusyawarah tentang kepentingan bersama di masjid. Anak-anak akan belajar memahami bahwa masjid adalah pusat seluruh aktivitas masyarakat di lingkungannya. Namun bagaimana semangat "back to mosque" tersebut dapat ditanamkan ke benak anak-anak kita apabila dari awal kita sudah membuat saringan layak atau tidak layak bagi mereka untuk menjadi tamu Allah di rumah-Nya sendiri?

Dalam keyakinan saya, spiritualitas dan kekhusyukan kita dalam beribadah tidak ditentukan oleh usia. Tidak ditentukan juga oleh seberapa ramai atau seberapa sepi lingkungan tempat kita beribadah. Tapi lebih banyak ditentukan oleh seberapa ikhlas kita bersedia beribadah dan berdzikir atas nama Allah. Bukan atas nama yang lainnya.

Sebagai akhiran, saya mengutip perkataan salah seorang sahabat bahwa penyakit orang baik adalah pada saat dia merasa dirinyalah yang paling baik. Sehingga kita harus selalu berhati-hati karena batas antara baik dan buruk sangatlah tipis. Bahkan terkadang tanpa terasa kita sudah berjalan melintasi batas tersebut dan berada di area seberang hanya karena kita merasa sedikit lebih baik dari seorang balita.

Semoga Allah masih berkehendak mengijinkan kita semua untuk bertemu dengan ramadhan tahun depan. Karena bulan ramadhan adalah saat yang tepat untuk melakukan introspeksi diri untuk kemudian selanjutnya kita jadikan sebagai dasar transformasi diri menuju ke arah yang lebih baik.

Banyuwangi, 25 September 2006
Aziz Fajar Ariwibowo

Permasalahan bawa anak ke mesjid atau tidak bawa anak ke mesjid, shalat khusyu atau tidak khusyu.
Sebagaimana juga permasalahan wudhu (dibasuh 3x atau 1x) hukum dijilat anjing, selalu menjadi permasalahanyang tidak henti-hentinya. Pernahkan kita berpikir tidak ada sesuatupun di muka bumi ini yang lepas dari aturan Allah.

Suatu hari hati kita "tergerak" (ingat tergerak hati kita bukan hanya saat shalat, tapi bisa setiap saat) karena Allah Maha Menggerakkan, untuk membawa anak ke mesjid, lalu anak itu rewel. Bukankah itu sudah "diatur" Allah?.

Lalu sang imam mesjid terganggu. Bukankah itu ujian kesabaran bagi Sang Imam? Lalu anak itu bercanda dengan teman-temannya. Bukankah itu hidayah dari Allah buat anak itu, dimana di hari itu dia sedang mendapat rejeki hiburan bagi hatinya?

Apakah sebagai orang tua kita malu membawa anak kita yang juga hamba Allah untuk hadir di mesjidNya?
Apakah Imam takut kalah khusyu dengan kekhusyuan anak itu bercanda dengan temannya. Bagaimana dia tidak mengenal khusyu bisa jadi imam? Bagaimana hatinya bisa tergoda dengan suara anak kecil, padahal dia harusnya saat itu sedang bersenda gurau dengan Allah? Rasulllah pernah berkata Shalat adalah hiburanku?

Tidakkah lebih baik jika persoalan rasa suka atau tidak suka, boleh atau tidak boleh menjadi pilihan dalam hidup kita. Seperti misalnya jika Anda tidak suka dengan tulisan ini, ya dihapus saja. Bahkan setiap ada email dari penulis ini ya dihapus saja.

Al Ankabuut Ayat 64:
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui



salam

bk
posted by widya @ 10:00 PM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
 
About Me



Nameera Ranupadma

Profil

Udah Lewat
Archives
Links
Affiliates
15n41n1