Monday, December 17, 2007 |
Sang Maha Penganugerah |
Sang Maha Penganugerah Apa alasanku untuk durhaka kepada-Mu, Allahku Di malam dan siang telingaku mendengar desir lembut suara malaikat-Mu yang mendendangkan nyanyian-Mu yang melezatkan jiwaku Di siang dan malam mripatku menyaksikan rahmat-Mu bertaburan dari langit beribu penjuru.
Jika Engkau bukan Sang Maha Tanpa Pamrih pastilah bangkrut aku Jika atas segala anugerah-Mu harus kupersembahkan balasan, maka tiadalah yang akan mampu aku persiapkan.
Segala yang tergenggam di tanganku adalah milik-Mu, bahkan tak juga kumiliki diriku sendiri, karena Engkaulah Maha Empunya semuanya ini.
Maka jika kupasrahkan seluruh jiwa ragaku bukanlah aku memberikan sesuatu kepada-Mu, melainkan sekedar menyampaikan hak-Mu. Dan jika aku memberikan sesuatu kepada keluargaku, kepada para tetangga dan sekalian orang di dalam jangkauanku, tak lain itu hanyalah menyalurkan milik-Mu, agar sampai pada akhirnya ke haribaan-Mu.
Apa alasanku untuk durhaka kepada-Mu, Allahku Engkau Maha Memberi, tanpa meminta: aku lah yang membutuhkan penyerahan segala sesuatu ke hadapan-Mu.
(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok) |
posted by widya @ 7:17 PM |
|
|
Ketika engkau bersembahyang |
Ketika engkau bersembahyang Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan Partikel udara dan ruang hampa bergetar Bersama-sama mengucapkan allahu akbar
Bacaan al-fatihah dan surah Membuat kegelapan terbuka matanya Setiap doa dan pernyataan pasrah Membentangkan jembatan cahaya
Tegak tubuh alif-mu mengakar ke pusat bumi Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri Kemudian mim sujudmu menangis Di dalam cinta Allah hati gerimis
Sujud adalah satu-satunya hakikat hidup Karena pejalanan hanya untuk tua dan redup Ilmu dan peradaban takkan sampai Kepada asal mula setiap jiwa kembali
Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali Badan diperas jiwa dipompa tak terkira-kira Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya
Sembahyang di atas sajadah cahaya Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia Rumah yang taka ada ruang tak ada waktunya Yang tak bisa dikisahkan kepada siapa pun juga
Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika Hatimu sabar mulia, kaki seteguh karang Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan (Emha Ainun Nadjib ) |
posted by widya @ 7:14 PM |
|
|
Tidak. Jibril Tidak Pensiun |
Hanya kualitas sorang Nabi yang sanggup menampung wahyu, dan Allah memang hanya berkenan memberikan wahyu kepada beliau-beliau yang terpilih. Sampai akhirnya Muhammad si Pamungkas. Selebihnya hanya ada wahyu kraton: suatu tema drama politik.
Maka anak-anak suka bersenda gurau bahwa Jibril sejak abad VII Masehi itu jadi penganggur. Pensiun abadi. Ada yang mebantah dengan mengemukakan bahwa Jibril tetap being employed karena para wali atau orang-orang dengan ‘radar suci’ setingkat mereka tetap menerima karomah, sementara orang-orang biasa kayak kita tetap juga memperoleh ilham.
Tidak, kata yang lain. Untuk takaran di bawah wahyu tak diperlukan Jibril. Untuk pekerjaan-pekerjaan kecil begitu Allah tak memerlukan organisasi birokrasi, tukang-tukang pos atau agen penyalur. Allah bisa cukup bilang Kun (fa-yakuun) untuk kepentingan apa pun saja.
Alangkah samar pembicaraan semacam ini. Tak ada kerangka metodologi penelitian model manapun yang bisa menyentuhnya. Tak tersedia kredibilitas keilmuan manusia apapun yang mungkin menerobosnya. Apalagi ilmu-ilmu sosial hanya pernah kenal Tuhan sebagai benda abstrak, sebagai suatu syahdan, sebagai kemungkinan obyek yang sungguh asing sifatnya -- sebab segala teori menjadi lawakan tatkala mendekati-Nya.
Satu-satunya jalan disediakan justru oleh berita wahyu itu sendiri. Tetapi ini makin tidak memuaskan manusia modern, yang canggih untuk bercuriga terhadap dogma, yang seolah-olah sengaja membuang kemampuan-kemampuan kejiwaannya yang tertentu yang bisa ia pakai untuk bergaul baik-baik dengan hidayah, dengan petunjuk ‘entah dari mana’, dengan gudang rahasia keilahian, dengan ketidak-mungkin-tahu-annya sendiri. Ya, manusia modern itu -- yang sombong melebihi Musa menjelang Tursina, yang menyangka bahwa kebenaran dan kepastian adalah miliknya yang ia bisa rancang dan tentukan.
Pada saat yang sama, keterbukaan terhadap gerak penghayatan atas wahyu itu amat diperlukan, setidaknya karena manusia telah sampai pada dua gejala yang sama-sama takabbur.
Yang pertama, manusia telah merasa mampu menemukan sesuatu, mengadakan yang tak ada, menciptakan sesuatu, dan berkat itu ia menjadi seniman Nobel, doktor akademik atau sarjana kehidupan. Yang kedua berada si ekstrim lain: yang ada hanya Allah, aku ini tak ada. Yang mutlak itu Allah, aku sekedar rekaan. Karya-karyaku, kata-kataku, musikku, lukisanku, tak bisa kusebut dengan ku, sebab mereka adalah kasih karya Allah semata.
Jadi, kalau kita membaca karya itu, kita membaca karya Allah. Kalau kita dengarkan ia baca puisi, itu puisi Allah. Kalau kita nonton pameran lukisannya, kita nonton lukisan Allah.
Maka ia mengemukakan kepadaku iman dan konsep mengenai pinjaman ilmu dan harta benda Allah kepada manusia -- sebagai mana ia mengemukakan hal yang sama ketika kutanyakan kepadanya apa omongan Islam tentang falsafah hak milik dan distribusi ekonomi yang dewasa ini amat dicemaskan oleh kaum sosialis-marxis.
Itu moralitas Allah.
Seandainya saja kita berhasil memiliki suatu pola pendidikan yang memungkinkan terwujudnya iman dan konsep itu dalam diri manusia, maka usaha proyeksi dan sistemasinya ke dalam organisasi-organisasi kebersamaan manusia tinggal ‘sekunder’. Tetapi sejarah telah harus mengandaikan manusia seperti ‘maling’ yang -- tentu saja tak bisa dipercaya, sehingga harus diciptakan pagar-pagar yang berlebihan. Sistem yang mengatur manusia bersifat substansial, dan manusia berada secara instrumental. Kita adalah gerombolan ayam, memperoleh taburan jagung dari tangan manusia, jago-jago memonopoli taburan itu karena mereka memang ‘tak tahu menahu’ tentang moralitas tangan manusia yang menaburkan jagung. Perlawanan ayam-ayam lain terhadap jago-jago selalu berupa menyingkirkan atau menumpas jago-jago, atau menggantikan kedudukan jago-jago.
Demikian ‘psikologi perlawanan’ yang sejauh ini berlangsung: apirasi terhadap apirasi, ideologi politik terhadap ideologi politik, kelas terhadap kelas, bahkan kaum wanita terhadap kaum lelaki. Sumber kecenderungan ini ialah karena jagung itu dipandang secara a-historis. Tak dipersoalkan secara tuntas dari mana jagung tertabur, dan apa moralitas esensial yang terkandung di balik taburan jagung itu. Dengan kata lain, orang makin tak kenal kepada jiwa wahyu.
Maka ia mengemukakan kepadaku Jibril tidak pensiun. Wahyu Allah bukan sebuah dongengan purba. Cahaya Allah tak berhenti memancar. Ilmu Tuhan terus menerus berseliweran. Muhammad tidak mati. Sungguh tidak mati. Hanya tubuh beliau yang sudah dikuburkan -- dan tubuh beliau adalah bagian yang paling remeh dari eksistensi kepribadiaannya yang menyuluhi alam semesta manusia. Wahyu yang beliau terima dari Allah pun terus bekerja. Sudah sempurna tapi belum selesai, karena ia akan menemukan kelahiran dan kelahirannya kembali di dalam iman dan kesadaran ummatnya.
Bahwa pada Muhammad disebut wahyu itu berakhir, artinya ialah jatah ilmu pengetahuan dasar anugerah Allah bagi manusia berpuncak di wadah Muhammad. Segala yang kita sebut prestasi akal, ilmu dan teknologi dahsyat yang dicapai manusia sesudahnya, telah terdapat benih-benihnya dalam al-Quran --meskipun selama ini kita menyebut-nyebut hal itu sekedar untuk hibur-hiburan pasif agar meperoleh kepercayaan diri sebagai ummat. Allah tidak mengkursus kita bagaimana bikin rantai dan pedal, tetapi kualitas fenomena kendaraan sepeda telah ditunjukkan-Nya. Apapun yang kelak digapai oleh kecerdasan manusia, tak akan melebihi kapasiatas kemungkinan yang telah dinurkan oleh wahyu yang berpuncak di Muhammad.
Tetapi, barangkali kita, adalah ummat tolol yang bisa menjadi cukup tenang hanya dengan mengemukakan keyakinan itu, tanpa mengerjakannya, dan kemudian -- kata para piawai -- “Kita ketinggalan dua abad” dibanding orang-orang lain yang justru ‘acuh tak acuh terhadap Allah’. Mungkin bagi kita Jibril adalah tokoh sejarah pada zaman sebelum Prabu Jayabaya atau candi Borobudur dibangun. Jibril adalah bayangan patung, arca berjubah, makhluk supra-raksasa yang telapak tangannya seluas 3333 kali galaksi, yang eksistensinya sepurba Dinosaurus. Atau Jibril itu semacam lelembut. Dan semua itu tidak konkret.
Padahal tidak. Jibril tidak pensiun. Ia begitu karib, di sisi tidur dan jagamu. Namun apabila pengalaman keilahian tidak selalu kita perbaharui, pada suatu hari kita akan sadar seolah-olah kita ini hidup di masa pra-Ibrahim yang menghayati bulan dan matahari untuk menemukan Allahnya.
Emha Ainun Nadjib (PmBNetDok) |
posted by widya @ 6:58 PM |
|
Sunday, December 02, 2007 |
Rahasia Sholat |
Shalat dalam pandangan Hakikat.............. Rahasia Shalat :
Berdiri (ihram) = Kaki = Syariat Ruku’ (munajah) = Pusat = Pusat (Puser) = Pikir yang menyembah = Thariqat Sujud (Mi’raj) = Dada = Jantung (Darah) = Daya yang menyembah = Hakikat Duduk (Tabdil) = Kepala =Tembuni (ari-ari) = Akal (nur/arasy) = Ma’rifat
Jadi nyata shalat sebagai ap’al Allah/tiang agama atau menjadi manusia yang sempurna (terpuji), karena juga shalat dijadikan tiang agama karena shalat mewakili / sbg khalifah untuk mewakili semua alam yang disampaikan oleh akal /ilmu di hadirat Allah.
Pada hakikatnya para malaikat turut shalat pada waktu kita shalat : API (DAYA/JANTUNG) = Shalatnya Malaikat Izrail (sifat Qahar). ANGIN (NAPAS/NYAWA) = Shalatnya Malaikat Mikail (sifat Jamal). AIR = Shalatnya Malaikat Jibril (sifat Jalal). TANAH = Shalatnya Malaikat Israfil (sifat Kamal).
Dalam shalat : Ihram (Berdiri) = Hakikat Api atau hakikat Malaikat Izrail. KAKI (sifat Qahar Allah).
Munajah (Ruku’) = Hakikat Angin atau hakikat Malaikat Mikail. PUSER (sifat Jamal Allah).
Mi’raj (Sujud) = Hakikat Air atau hakikat Malaikat Jibril. DADA (sifat Jalal Allah).
Malaikat Jibril dalam sujud = Jibril menemani rasul pada waktu Isra’ dan Mi’raj dari Masjidil Haram (hati) ke Masjidil Aqsa (Arasy/otak) terus ke Sidratul Muntaha tetapi Jibril tidak sampai ke rab-rab buana (sidratul muntaha/lapisan langit ke 7).
Tabdil (Duduk) = Hakikat Tanah atau hakikat Malaikat Israfil. KEPALA (sifat Kamal Allah).
Kamulah Imam (sbg Khalifah-Nya) dalam shalatmu, yang menjadi makmummu didalam kamu shalat adalah para malaikat yang ada didalam dirimu, yang meng-amini bacaan shalatmu adalah pada hakikatnya Malaikat Jibril (melalui kalammu), hayatmu (napas) pada hakikatnya Malaikat Mikail dst.
Manusia yang shalat berjama’ah di mesjid ataupun langgar itu dalam hakikat yakni SATU/ESA yaitu sifat-Nya, secara zhahir kelihatan banyak ada si anu dan si anu dan seterusnya......
Bawalah perangkat-perangkat tsb dalam gerak shalat (hakikat shalat berjama’ah).
ITULAH HAKIKAT DIRI MANUSIA (LANGIT DAN BUMI/DIRI MANUSIA MENYEMBAH ZAT-NYA). |
posted by widya @ 6:20 PM |
|
|
About Me |
Nameera Ranupadma
Profil
|
Udah Lewat |
|
Archives |
|
Links |
|
Affiliates |
|
|